Berbagi Suara-Nya

Persahabatan Srikandi dan Abeli

“Selamat pagi… selamat pagi!” teriakan Alba, kakatua jambul putih betina, saat pagi menyeruak dan membangunkan satwa lain yang ada di rumah besar putih di kitaran kawasan elit di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

 

“Berisik, saya masih ingin tidur,” auman Tigris, harimau Sumatera jantan dewasa, yang masih merebahkan diri di kandangnya dan melirik ke arah kakatua.

 

Lirikan yang dibalas dengan senyuman dan kembali teriakan kakatua, “Lapar, jagung, jagung.” Nardi penjaga rumah sudah mengetahui kebiasaan sarapan jagung bagi kakatua. Dia sudah berjalan dari arah dapur dan menempatkan jagung pada tautan makanan tempat Alba bertengger.

 

“Terima kasih!” kembali kakatua mengoceh sambil menikmati jagungnya.

 

Sementara Tigris membalikkan badannya, membelakangi Alba, dan kembali merebahkan badannya.

 

Tepat di sebelah Alba, Lophura, sepindan Kalimantan jantan, dari dalam kandang indahnya, ikut menggerutu, “Tiap pagi Nardi sudah tahu kamu minta jagung. Untuk apa teriak-teriak. Suaramu cempereng tahu!” Alba mengabaikan kegeraman Lophura.

 

Pada halaman, tampak Menkun, kucing hutan betina, berusia empat bulan, berjalan mengeliling kebun. Dia mencium semua area untuk memberi tanda kekuasaannya. Sebelum itu, Menkun mengganggu Lophura dengan gaya ingin menyerang.

 

“Menkun jangaaan… jangaaan! Kenapa kamu begitu jahat dengan aku. Apa salah aku?” suara Lophura ketakutan melihat gaya Menkun yang ingin seakan melahapnya.

 

Kesibukan dan keramaian pagi itu selalu mencairkan suasana pagi hari di rumah Duryudana, seorang pengusaha sukses di Ibu Kota. Dia mempunyai kesukaan mengoleksi satwa langka. Dia tidak mengindahkan larangan pemerintah dalam memelihara satwa langka. Anehnya, tidak pernah ada penegak hukum yang menangkapnya karena peliharaan yang dia miliki.

 

Pada sudut halaman, Duryudana membangun satu kandang besar dan tinggi yang dibatasi dengan kawat. Empat anak orangutan menempati kandang yang terbagi dua. Pada sisi kiri terlihat dua anak orangutan Sumatera, Topan, si jantan, dan Ensista, si betina. Di sisi sebelahnya, dua anak orangutan Kalimantan bertengger, Pongo, si jantan, dan Abeli si betina. Dua anak Duryudana, Drupadi, dua belas tahun, dan Srikandi, sepuluh tahun, sangat menyukai orangutan.

 

“Selamat pagi Pongo! Apa kabar? Bagaimana tidur kalian?” suara Ensista menyapa kedua orangutan sambil menempelkan badannya di kawat kandang pembatas dan melihat ke arah Pongo.

 

Pongo yang sedang menikmati pisangnya menyambut Ensista, “Baik!”

 

Lalu sambil memandang Abeli yang sedang merenung sedih di seberangnya, Pongo melanjutkan, “Tapi Abeli masih sedih terus. Dia masih memikirkan ibu dan saudaranya.”

 

Abeli adalah penghuni yang baru dua hari menempati kandang itu. Saat dimasukkan, Abeli dalam kondisi pingsan akibat biusan yang dia terima. Nardi meletakkan Abeli di dalam kotak yang menjadi kamarnya.

 

Saat siuman, Abeli menggigil badannya. Dia menyendiri di sudut kandang, memandang sekitarnya. Suasana yang sangat baru bagi dia. Situasi yang tidak pernah dia kenal. Abeli tampak sangat ketakutan. Pongo, teman satu kandangnya, memandang dari sudut seberang. Dia tidak berani mendekatkan diri ke Abeli. Dia memberi ruang bagi Abeli untuk menenangkan diri dan mengenali sekitarnya.

 

Dimana aku? Siapa mereka? Mengapa tidak ada ibu dan kakakku?” suara di dalam hati Abeli saat dia melihat ke tempat barunya. Badannya masih bergetar keras. Abeli meringkuk dan tidak berani bergeser karena dia tidak mengenal siapapun. Abeli meringkik kecil memberi tanda keresahan hatinya.

 

Di teras belakang, Duryudana bersama istrinya, Arimbi, dan kedua anaknya sedang menikmati sarapan pagi mereka. Duryudana melihat ke arah Abeli, anak orangutan baru, dan berseru, “Drupadi, Srikandi, lihat itu ada satu orangutan baru. Dia masuk tadi malam. Namanya Abeli.”

 

Dia berhenti sebentar sebelum melanjutkan dengan memberikan arahan, “Jangan diganggu dulu dia. Biarkan dia menyesuaikan diri dengan suasana barunya.” Tampak pada mata Duryudana kebanggaan yang menyembul karena koleksinya bertambah.

 

“Yaaah… Srikandi ingin menggendong Abeli. Kasihan dia sepertinya merasa asing,” Srikandi protes dengan arahan ayahnya.

 

Namun Drupadi juga memberi peringatan, “Biarkan dulu dia Srikandi. Nanti kalau dia sudah nyaman, kamu bisa gendong. Pak Nardi akan membantu untuk mengambilnya.”

 

Srikandi mempunyai sifat pembangkang dan berkemauan sangat keras. Dia mendengar petunjuk dan sentilan ayah dan kakaknya. Tetapi di dalam hatinya dia menyimpan rencana sendiri, “Nanti kalau semua tidak ada, aku akan minta Pak Nardi mengambil Abeli.

 

Siang harinya, di saat Duryudana bekerja di kantor, Arimbi mengikuti kegiatan sosialnya dan Drupadi sedang kursus piano, Srikadi memerintahkan Nardi untuk mengambil Abeli.

 

“Sini Abeli, Mbak Srikandi mau gendong kamu,” suara Nardi saat mendekatkan diri ke Abeli untuk menggendongnya.

 

Gapaian tangan Nardi membuat Abeli membelalakkan matanya. Getar pada badannya semakin kuat. Abeli melihat Nardi dengan pandangan penuh tanya dan menjerit lirih, “Mau apa dia? Mengapa dia mendekati aku?”

 

Pongo menguatkan Abeli dan menenangkan dia, “Tenang Abeli. Nardi mengambil kamu supaya Mbak Srikandi bisa bermain dengan kamu.”

 

Abeli tidak berdaya. Dia tidak mempunyai kuasa untuk melawan Nardi.

***

 

Matahari terus berputar, siang berganti malam, waktu tidak pernah menipu. Dua tahun berlalu sejak Abeli hadir menjadi penghuni baru. Saat itu, pandemi COVID sedang membara di seluruh dunia. Pemerintah melarang adanya kegiatan di luar rumah. Aturan yang menciptakan ketidaknyamanan bagi semua anggota keluarga Duryudana.

 

“Ah, Srikandi kesal dengan COVID. Kita jadinya tidak bisa kemana-mana. Aku bosan di rumah terus dan belajar online,” protes Srikandi di saat sarapan pagi.

 

Drupadi yang biasa tidak banyak bicara dan mempunyai sifat jauh lebih tenang, ikut menimpali, “Betul! Aku jadi sulit untuk konsentrasi dan kita tidak bisa ketemu teman-teman. Aku kangen dengan sahabat-sahabatku.”

 

“Kita jadinya batal juga mau berlibur ke Eropa,” Srikandi melanjutkan kekesalannya.

 

Duryudana dan Arimbi sebenarnya merasakan hal yang sama dengan anak-anaknya. Mereka berdua terbiasa sibuk dengan kegiatan di luar rumah. Tetapi mereka tidak bisa lagi melakukan hal itu semua karena aturan pemerintah.

 

Pembicaraan yang terjadi di malam sebelumnya, “Aku sudah tidak tahan di rumah terus, Pak. Ijin saya sekali-sekali keluar untuk bertemu dengan teman-temanku,” suara Arimbi yang sedang duduk di teras belakang menikmati teh hangat dan kue donat buatan Par, asisten rumah tangga mereka.

 

“Yang sabar, Bu. Pandemi ini sangat berbahaya. Kita harus membatasi gerak supaya tidak menyesal nantinya,” Duryudana menasihati Arimbi.

 

“Kamu kan punya penyakit asma akut, Drupadi juga. Penyakit itu sangat berbahaya kalau kamu terkena COVID,” Duryudana menjelaskan dengan lebih lengkap.

 

Semua pembicaraan itu tidak lepas dari pendengaran Abeli. Walaupun dua tahun sudah berlalu dan dia adalah kesayangan Srikandi, Abeli masih belum merasa nyaman dengan tempatnya. Dia sangat merindukan bergelayutan di pohon bersama orangtua dan saudaranya. Dia mengingat candaannya bersama kakaknya. Dia tidak menyukai terkungkung di kandang.

 

“Aku senang mereka bisa merasakan perasaan kita,” Abeli memulai pembicaraan saat mendengar percakapan keluarga di tempat sarapan.

 

”Mereka sekarang tahu betapa tidak enaknya terkurung dalam satu tempat. Mereka terpenjara dan tidak berdaya melawan. Perasaan yang selama ini kita semua miliki,” lanjutnya sambil terus mendengar dan melihat keluarga Duryudana menikmati sarapan pagi mereka.

 

Tigris yang merasa sangat tidak nyaman dengan kandang sempitnya, turut menimpali, “Setuju Abeli. Mereka memang jahat dan Duryudana itu menyalahi aturan. Kita seharusnya tidak boleh ada di sini.” Matanya memandang tajam ke arah ruang sarapan seakan ingin menerkam Duryudana.

 

Topan-pun menyepakati Abeli dan Tigris, “Ensista dan aku juga sudah bosan di dalam kandang ini. Kami rindu memanjat, meloncat di dahan yang luas dan bergantung di pohon sambil menikmati makanan.”

 

“Biar tahu rasa mereka. Sekarang mereka tahu apa yang kita alami,” Lophura menyahut sambil memandangi Menkun yang duduk di muka kandangnya.

 

“Kamu masih enak Menkun. Bisa jalan-jalan bebas di dalam rumah. Kami semua terkurung tidak berdaya,” lanjutnya. Dua tahun berlalu menciptakan persahabatan antara Lophura dan Menkun. Si kucing hutan tidak lagi mengganggu Lophura tetapi dia sering mendengar keluh kesah Lophura.

 

Semua pembicaraan itu tidak lepas dari pendengaran Abeli. Dia berharap bisa melakukan sesuatu membebaskan mereka semua dan dirinya. Tetapi apa daya, dia selalu terkunci dan tidak bisa melakukan apapun.

 

Ingin rasanya aku mengunci Nardi saat dia masuk dan lari dari kandang ini. Tetapi aku tidak tahu bagaimana kembali ke rumah,” pikir Abeli dengan perasaan sedih. Meskipun Abeli sekarang dekat dengan Srikandi, dia sangat merindukan keberadaan keluarga dan rumahnya.

 

Ternyata pandemi menorehkan kisah berbeda bagi keluarga Duryudana. Lima bulan setelah lockdown, karena penyakit asma yang cukup parah, Arimbi dan Drupadi terpapar virus dan tidak berdaya di dalam kamar. Duryudana menyiapkan semua alat rumah sakit di rumahnya dan dokter keluarga selalu siap menerima panggilan. Dia juga menyiapkan kaca penutup di kamar untuk keamanan keluarga.

 

Srikandi sering menghabiskan waktunya duduk di depan kaca sambil memandang ibu dan kakaknya. Dia mencucurkan air mata melihat kondisi mereka berdua. “Kalian harus sehat kembali. Saya tidak mau ditinggal kalian,” bisikan Srikandi ke arah ibu dan kakaknya yang tidak sadarkan diri karena memarahnya kondisi mereka.

 

Abeli masih dengan kebiasaan menemani Srikandi di siang hari. Saat Arimbi dan Drupadi sakit, dia berada di kamar Srikandi setiap hari. Kebaikan dan rasa sayang Srikandi padanya membuat Abeli menganggap Srikandi adalah sahabatnya. Meskipun, dia tetap tidak menyukai ayah Srikandi karena perbuatannya yang menjauhkannya dari orangtua dan saudaranya.

 

Dia mendengar keluh kesah dan kesedihan yang keluar dari mulut Srikandi dengan penuh perhatian. Sering dia menyentuh pipi Srikandi yang dipenuhi dengan air yang mengalir tiada henti dari matanya. Abeli sangat memahami perasaan Srikandi karena itu yang dia rasakan selama ini, kerinduan pada ibu dan saudaranya.

 

“Mudah-mudahan ibu dan kakak kembali seperti sedia kala. Aku mau minta maaf ke ibu atas kenakalanku dan ke kakak karena aku suka mengganggu dia,” desah Srikandi yang duduk di kasurnya sambil memeluk gulingnya. Abeli berhadapan dengannya memandang Srikandi sambil mengelus kepalanya.

 

Saat desakan kehidupan yang berubah menusuk ke jiwa Srikandi, belaikan Abeli dan pandangan matanya menusuk ke dalam batin Srikandi. Selama ini dia hanya menganggap Abeli teman mainnya. Tetapi hari ini perasaan lain timbul dalam diri Srikandi. Emosi berbeda yang menggugah batinnya. Kasih Abeli menggores lubuk hatinya.

 

“Maaf ya Abeli. Aku tahu apa yang aku alami saat pandemi ini menjadi cerita kalian semua selama ini,” dengan pandangan ke halaman belakang tempat koleksi ayahnya, Srikandi mengungkapkan pikirannya.

 

Kembali memandang Abeli, dia melanjutkan, “Hatiku sebenarnya berat tetapi aku harus melakukan sesuatu untuk kalian semua.”

***

 

Pagi itu suasana cerah, awan biru di lapis dengan putih kapas tampak jelas menghiasi langit. Lukisan yang sudah lama tidak tampak di ibu kota karena polusi yang menutupi. Gambar yang sekarang bisa dinikmati karena kurangnya mobilitas kendaraan sehingga polusi menurun secara drastis.

 

Kesibukan dan keramaian pagi mencairkan suasana di rumah Duryudana mulai menggema ketika matahari mulai mengintip dari balik tembok rumah.

 

“Selamat pagi… selamat pagi!” teriakan Alba, kakatua jambul putih betina.

 

“Berisik, saya masih ingin tidur,” auman Tigris yang masih merebahkan diri di kandangnya dan melirik ke arah kakatua.

 

Serta Nardi penjaga rumah berjalan dari arah dapur dan menempatkan jagung pada tautan makanan tempat Alba bertengger.

 

Sementara Menkun duduk tenang di depan kandang Lophura. Mereka bercakap-cakap membicarakan kejadian tragis yang terjadi dua hari lalu pada keluarga Duryudana. Perbincangan yang mengajak semua orangutan turut serta di dalamnya. Di seberang, Tigris ikut mendengarkan dan Alba melirik sambil terus menikmati jagungnya.

 

“Sangat memilukan kejadian yang menimpa Srikandi, teman mainmu Abeli,” Lophura melihat ke Abeli dengan mata penuh pengertian.

 

Bergantung di pinggir kandang, Abeli menimpali dengan pandangan menerawang ke arah kamar Srikandi, “Iya betul. Saya ikut sedih sewaktu Srikandi duduk di samping ibu dan kakaknya yang sudah mengatupkan mata mereka.”

 

“Tampak sekali langkahnya berat mengiring ibu dan kakaknya kemarin pagi,” Tigris turut menyampaikan pendapatnya mengenai kondisi Srikandi.

 

Mata mereka semua lekat pada kamar Srikandi. Mereka membayangkan perasaan kehilangan yang dirasakannya. Diantara rasa kesal dan geram pada Duryudana, mereka semua memberikan simpati dan empati yang besar pada anak kedua Duryudana. Semua terjadi sangat cepat dan mendadak.

 

Tujuh hari setelah kepergian Arimbi dan Drupadi, Abeli melihat kesibukan di rumah Duryudana. Beberapa tumpuk kayu tersedia di teras belakang, tempat sarapan keluarga. Tampak kesibukan beberapa tukang kayu memaku kayu untuk membuat beberapa kotak sedang dan kotak besar.

 

Kebisingan yang mengundang Abeli, Pongo, Topan dan Ensista bergantung di pinggir kawat kandangnya melihat para tukang. Keramaian yang menarik Tigris dan Lophura berdiri menyaksikan kegiatan mereka. Di tengah halaman, Menkun merebahkan dirinya turut melihat sambil terkadang berjalan mengeliling halaman yang merupakan kebiasaannya.

 

“Apa yang mereka lakukan Abeli?” tanya Tigris kepada Abeli karena Abeli yang sering bersama dengan Srikandi.

 

“Hmmm… saya tidak ingin merasa senang. Kita lihat saja dulu apa yang terjadi,” jawaban Abeli yang mengundang pemikiran mendalam dari teman-temannya.

 

Cerita mengenai tekad Srikandi yang disampaikan Abeli beberapa waktu lalu kembali terngiang di telinga dan pikiran mereka. Mereka berharap penantian yang selama ini mereka tunggu akan segera terjadi. Pikiran mereka semua terbang ke alam mereka.

 

Berbeda dengan Abeli, diantara sembulan penantian bertemu dengan keluarganya, pikirannya melayang pada Srikandi. Dia menggeserkan badannya untuk memandang kamar Srikandi. Tampak gadis cilik itu berdiri di jendela dan memandang Abeli dengan air mata yang deras mengucur.

 

“Teman-teman, lihat Srikandi sedih sekali melihat kita. Mungkin hari ini kita akan pergi dari sini,” lirih suara Abeli mengundang semua membalikkan kepala melihat ke arah Srikandi yang berdiri di jendela. Gerakan yang membuat gadis cilik itu menghilang.

 

Pasti dia sedih sekali kehilangan kita semua,” pikir Abeli.

 

Baru saja kehilangan Arimbi dan Drupadi, sekarang dia harus merelakan kita pergi,” suara yang keluar dari pikiran Abeli.

 

Tidak lama tampak Nardi berjalan mengarah ke kandang Abeli. Sambil menuntun Abeli, dia berkata, “Mbak ingin bertemu kamu, Abeli.”

 

Duduk berhadapan, Srikandi menggenggam tangan Abeli, “Hari ini kamu dan mereka semua akan dibawa kembali ke alam kalian. Aku sangat sedih kehilangan kamu tetapi aku tahu ini yang terbaik. Satu saat nanti aku akan datang ke rumahmu.”

 

Abeli memegang erat tangan Srikandi lalu mengelus kepala dan pipinya. Banyak kata di kepala yang ingin sekali dia sampaikan pada Srikandi. Sayangnya bahasa mereka berbeda. Tetapi Abeli yakin Srikandi pasti memahami apa yang ingin dia sampaikan.

 

Srikandi, sahabatku yang terbaik, terima kasih atas semua kasih sayang yang kamu berikan. Aku paham keresahan, kesedihan dan kegusaran mendalam yang ada dalam dirimu.

 

Saat dunia beristirahat menciptakan awan biru dan kapas putih di atas serta mengurani polusi yang mengunci kita selama ini, kamu harus kehilangan banyak. Tuhan memanggil Arimbi dan Drupadi. Sekarang kamu melepaskan kami semua.

 

Aku sayang kamu, kami semua apresiasi atas apa yang kamu lakukan. Aku tunggu kehadiranmu di tempatku nanti. Aku akan kenalkan kamu dengan orangtua dan saudaraku.”

 

Abeli terus mencengkeram tangan Srikandi. Mereka berpandangan dan berbicara dalam kalbu dengan bahasa mata. Tidak ada air mata mengalir, tidak kata keluar dari mulut mereka, yang tampak hanya kasih diantara keduanya. Abeli mengakhiri pertemuan mereka dengan kembali mengelus kepala dan pipi Srikandi.

***

 

Fiksi dengan judul “Persahaban Srikandi dan Abeli” merupakan cerita fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Tulisan ini asli merupakan karya saya sendiri, bukan merupakan karya plagiasi atau diambil dari karya orang lain (November 08, 2021).

 

Diterbitkan dengan judul yang sama pada Buku “Antologi Cerita Pendek “Rehat”” oleh Centre for Orangutan Protection dan Orangufriends yang didukung oleh REDUPS pada Desember 2021.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *